Jumat, 16 November 2018

                    TB kondisi khusus
- TB-HIV
   2(HRZE)/4(HR), durasi 6 bulan, (FDC)
- terapi TB dimulai lebih dahulu sebelum ARV(2-8 minggu)
Dari HIV programs: test and treat
8 minggu

Sindrom pulih obat (IRS): pasieb HIV(CD4>300) setelah 8 minggu memburuk
Sebab
Terlalu dini (CD4<50)

Meningitis lesi tambah luas
Efusi pleura tambah banyka

Patogenesis IRS--> sistem immun bekerja berlebiham--> inflamasi meningkat
Dosis:
Metil 1mg/kgbb
Prednison 1.25mg

Terapi pencegahan isoniazid pada ODHA tanpa TB aktif

INH 300mg/hari + B6.25 mg/hari selama 6 bulan


TB perikard
Klinis: ef perikard berulang

Fiagbosis: foto toraks, echo, spesimen: biopsi, cairan perikard

IFN, ADA, PCR,
Obat sama drngan TB HIV
Resiji tibggi inglamasi:

TB sistem saraf (abses, serebritis, milier)
Dx: CT, MRI
Taalksana: sama dutasi 9-12 bulan
2 HRZE+

Steroid: menigitis dan perikarditis

TB dan ibu hamil
- foto thoraks: aman buat trimester 2-3, pakai apron
R/
OAT lini 1 kecuali streptomisis
Piridoksin 50mg/hari
Vit K 10mg

Diabetes +TB
Pat: makrofag --> sitokin-->T Helper bekerja
Diabetes mekanisme imun tak bekerja baik-->kuman masih viable
Dx: insulin+ OAT
Rif menurunkan sulfonilurea


TB dan ginjal
RH dan INH--> eleminasi bilier
Sterpto 15


TB + p hati
Akut: tunda atau stop, atau setelah 3 minggu ikterus
Kronis : CTP< 7 kombinasi RHE srlama 9 bulan
CTP> 11: 18-24 SEFq

TB imbas obat:
GK+mual dan muntah (bil>2), GOT GPT
>5 kali hentikan
Tataksana : sensistisasi
Cara desensitasi:
- HRZES
Isoninasid: H1 300, H2 300, H3 300
R: H1 75 H2 300 H 3 full dose
Z: 250, 1000, fulldose
E: 100, 500, FD
Strept: 125, 500, FD

Efek OAT :
Mual: R
Nyeri sendi: P
Kesemputan : INH

TB dan malnutrisi
2 (HRZE)/4(RH)
Cek protein sebelum mulai,

Tb dan kontrasepsi
2(HRZE)/4 (RH)
Rif menurunkan efektifitas kontrasepsi hormonal

TB pd immunupressan
RF menurunkan efektifitas immunosupressan.

TB + HCV : obati TB dulu sampai tuntas baru mulai anti HCV







Kamis, 06 September 2018

Artritis Gout
Gout merupakan penyakit progresif akibat deposisi kristal MSU di
persendian, ginjal, dan jaringan ikat lain sebagai akibat hiperurisemia yang
telah berlangsung kronik.
 Tanpa penanganan yang efektif kondisi ini dapat
berkembang menjadi gout kronik, terbentuknya tofus, dan bahkan dapat
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal berat, serta penurunan kualitas hidup.

Diagnosis
DIAGNOSIS

Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga fase, yaitu: a) hiperurisemia tanpa
gejala klinis, b) artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis (fase
interkritikal), dan c) artritis gout kronik

Hiperurisemia tanpa gejala klinis-->  kadar asam urat serum >
6.8 mg/dl, --> melewati batas solubilitasnya di serum. --> Periode
ini dapat berlangsung cukup lama-->
artritis gout.

Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering mengenai sendi
metatarsophalangeal (MTP) 1 yaitu sekitar 80−90 % kasus, yang secara klasik
disebut podagra.

Onset serangan tiba-tiba, sendi yang terkena mengalami
eritema, hangat, bengkak dan nyeri.
Serangan artritis akut kedua dapat dialami dalam 6 bulan sampai dengan 2
tahun setelah serangan pertama. Serangan akut kedua dan seterusnya dapat
mengenai lebih dari satu persendian, dapat melibatkan tungkai atas, durasi
serangan lebih lama, interval antar serangan lebih pendek dan lebih berat.
Serangan artritis akut yang tidak terobati dengan baik akan mengakibatkan
artritis gout kronis yang ditandai dengan inϐlamasi ringan pada sendi disertai
destruksi kronis pada sendi-sendi yang mengalami serangan artritis akut.
Pada pemeriksaan ϐisik akan dijumpai deformitas sendi dan tofus pada
jaringan (kristal MSU dikelilingi sel mononuclear dan sel raksasa).

Artritis
gout kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset pertama artritis gout akut
pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik.

Catatan:

- Hiperurisemia tanpa gejala klinis ditandai dengan kadar asam urat serum > 6.8 mg/
dl.

-  artritis gout akut ditandai dengan nyeri hebat, nyeri sentuh/tekan, onset
tiba-tiba, disertai bengkak dengan atau tanpa eritema yang mencapai puncak dalam
6−12 jam pada satu sendi (monoartritis akut). Manifestasi klinis gout yang tipikal,
yaitu podagra berulang disertai hiperurisemia.

Diagnosis deϐinitif gout ditegakkan apabila ditemukan kristal MSU pada cairan
sendi atau aspirasi toϐi.

 Penemuan kristal MSU dari sendi yang tidak mengalami radang dapat menjadi
diagnosis deϐinitif gout pada fase interkritikal.

5Direkomendasikan pemeriksaan rutin kristal MSU terhadap semua sampel cairan
sendi bersumber dari sendi dengan inϐlamasi terutama pada kasus yang belum
terdiagnosis.

Diagnosis gout akut, gout fase interkritikal, gout kronis dapat ditegakkan dengan
kriteria ACR/EULAR 2015.

Harus dilakukan evaluasi terhadap faktor risiko gout, penyakit komorbiditas
termasuk gambaran sindrom metabolik (obesitas, hiperglikemia, hiperlipidemia,
hipertensi).

Gout dan artritis septik bisa merupakan kejadian koinsiden, sehingga pada saat
dicurigai terjadi artritis septik harus dilakukan pemeriksaan pengecatan Gram dan
kultur cairan sendi, walaupun telah didapatkan kristal MSU.

Kadar asam urat serum merupakan faktor risiko penting gout, namun nilai
kadarnya dalam serum tidak dapat memastikan maupun mengeksklusi adanya gout
oleh karena banyak orang mengalami hiperurisemia namun tidak menderita gout,
disamping itu pada serangan gout akut sangat mungkin terjadi saat kadar serum
akan normal.

Ekskresi asam urat dari ginjal sebaiknya diukur kadarnya pada pasien gout dengan
kondisi khusus, terutama pada mereka yang memiliki riwayat keluarga, gout onset
muda yaitu usia <25 tahun atau yang memiliki riwayat batu ginjal.

Pemeriksaan radiograϐi dapat memberikan gambaran tipikal pada gout kronis dan
sangat berguna untuk melakukan diagnosis banding. Namun, tidak banyak manfaat
untuk mengkonϐirmasi diagnosis pada fase dini atau gout akut.

Asymptomatik Hiperuricemia.

Hiperurisemia tanpa gejala klinis
Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan :

modiϐikasi gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum
pengelolaan hiperurisemia dan gout.

 Penggunaan terapi penurun asam urat
pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The European
League Against Rheumatism (EULAR), American Colleague of Rheumatology
(ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan
efektiϐitas terapi tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for
Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan pemberian obat penurun asam urat
pada pasien hiperurisemia asimptomatik dengan kadar urat serum >9 atau
kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko kardiovaskular (gangguan
ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung isk

GOUT AKUT

Pasien harus diedukasi dengan baik untuk dapat mengenali gejala dini
dan penanganan awal serangan gout akut. Pilihan obat untuk penanganan
awal harus mempertimbangkan ada tidaknya kontraindikasi obat, serta
pengalaman pasien dengan obat-obat sebelumnya.
Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang onsetnya <12 jam adalah
kolkisin dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudian 0.5 mg. Terapi
pilihan lain diantaranya OAINS, kortikosteroid oral dan/atau bila dibutuhkan
aspirasi sendi diikuti injeksi kortikosteroid. Kolkisin dan OAINS tidak boleh
diberikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal berat dan
juga tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi penghambat
P-glikoprotein dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin atau klaritromisin.

Serangan gout akut dapat dipicu oleh:

1. Perubahan kadar asam urat mendadak. Peningkatan mendadak maupun
penurunan mendadak kadar asam urat serum dapat memicu serangan
artritis gout akut. Peningkatan mendadak kadar asam urat ini dipicu oleh
konsumsi makanan atau minuman tinggi purin. Sementara penurunan
mendadak kadar asam urat serum dapat terjadi pada awal terapi obat
penurun asam urat.
2. Obat-obat yang meningkatkan kadar asam urat serum, seperti:
antihipertensi golongan thiazide dan loop diuretic, heparin intravena,
siklosporin.
3. Kondisi lain seperti trauma, operasi dan perdarahan (penurunan volume
intravaskular), dehidrasi, infeksi, dan pajanan kontras radiograϐi.
Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai
terapinya pada saat serangan gout akut namun, pada pasien yang sudah
dalam terapi rutin obat penurun asam urat, terapi tetap dilanjutkan.
Obat penurun asam urat dianjurkan dimulai 2 minggu setelah serangan
akut reda. Terdapat studi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan
kekambuhan pada pemberian alopurinol saat serangan akut, tetapi hasil
penelitian tersebut belum dapat digeneralisasi mengingat besar sampelnya
yang kecil dan hanya menggunakan alopurinol.


Indikasi memulai terapi penurun asam urat pada pasien gout adalah pasien
dengan serangan gout ≥2 kali serangan, pasien serangan gout pertama kali
dengan kadar asam urat serum ≥ 8 atau usia <40 tahun.


Fase Interkritikal dan Gout Kronis

Fase interkritikal merupakan periode bebas gejala diantara dua serangan
gout akut. Pasien yang pernah mengalami serangan akut serta memiliki faktor
risiko perlu mendapatkan penanganan sebagai bentuk upaya pencegahan
terhadap kekambuhan gout dan terjadinya gout kronis.
Pasien gout fase interkritikal dan gout kronis memerlukan terapi penurun
kadar asam urat dan terapi proϐilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi
penurun kadar asam urat dibagi dua kelompok, yaitu: kelompok inhibitor
xantin oksidase (alopurinol dan febuxostat) dan kelompok urikosurik
(probenecid).
Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam
urat, diberikan mulai dosis 100 mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap
sampai dosis maksimal 900 mg/hari (jika fungsi ginjal baik). Apabila dosis
yang diberikan melebihi 300 mg/hari, maka pemberian obat harus terbagi.
Jika terjadi toksisitas akibat alopurinol, salah satu pilihan adalah terapi
urikosurik dengan probenecid 1−2 gr/hari. Probenecid dapat diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal normal, namun dikontraindikasikan
dengan urolitiasis atau ekskresi asam urat urin ≥800 mg/24jam. Pilihan
lain adalah febuxostat, yang merupakan inhibitor xantin oksidase non purin
dengan dosis 80−120 mg/hari. Kombinasi inhibitor xantin oksidase dengan
obat urikosurik atau peglotikase dapat diberikan pada pasien gout kronis
dengan toϐi yang banyak dan/atau kualitas hidup buruk yang tidak dapat
mencapai target kadar asam urat serum dengan pemberian dosis maksimal
obat penurun asam urat tunggal.
Target terapi penurun asam urat adalah kadar asam urat serum <6 mg/dL,
dengan pemantauan kadar asam urat dilakukan secara berkala. Pada pasien
dengan gout berat (terdapat toϐi, artropati kronis, sering terjadi serangan
artritis gout) target kadar asam urat serum menjadi lebih rendah sampai <5
mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk membantu larutnya kristal
monosodium urat (MSU) sampai terjadi total disolusi kristal dan resolusi
gout. Kadar asam urat serum <3 mg/dL tidak direkomendasikan untuk
jangka panjang.
Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam urat serum dimulai
dengan dosis rendah. Dosis obat dititrasi meningkat sampai tercapai target
terapi dan dipertahankan sepanjang hidup. Sebagai contoh alopurinol
dimulai dengan dosis 100 mg/hari, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar
asam urat setelah 4 minggu. Bila target kadar asam urat belum tercapai maka
dosis alopurinol ditingkatkan sampai target kadar asam urat tercapai atau
telah mencapai dosis maksimal.
Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat
berisiko mengalami serangan gout akut, terutama pada awal dimulainya terapi
penurun asam urat. Semakin poten dan semakin besar dosis obat penurun
asam urat, maka semakin besar pula risiko terjadinya serangan akut. Oleh
sebab itu, untuk mencegah terjadinya serangan akut gout direkomendasikan
untuk memberikan terapi proϐilaksis selama 6 bulan sejak memulai terapi
penurun kadar asam urat. Proϐilaksis yang direkomendasikan adalah kolkisin
dengan dosis 0.5–1 mg/hari, dosis harus dikurangi pada gangguan fungsi
ginjal.
Bila terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin, dapat
dipertimbangkan pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi proϐilaksis.

Kamis, 02 Agustus 2018

HEART FAILURE WITH PRESERVED EJECTION FRACTION
(HF-PEF)

I.   PENDAHULUAN
Congestive Heart Failure adalah kumpulan gejala klinik yang muncul akibat gangguan struktural atau fungsional pengisian atau ejeksi ventrikel.  Keluhan sesak  napas dan mudah lelah merupakan manifestasi utama dari gagal jantung. Keadaan tersebut menimbulkan keterbatasan dalam  aktivitas dan munculnya retensi cairan yang berlanjut pada kongesti pulmonal, splanknik serta edema perifer.  Beberapa pasien mengalami gangguan toleransi aktivitas tanpa disertai edema atau edema minimal, sedangkan  lainnya mengeluhkan edema, sesak dan mudah lelah.  Karena tidak semua disertai tanda dan gejala volume overload maka terminologi Heart Failure lebih tepat dibandingkan dengan  Congestive Heart Failure.   Menurut Guideline ESC (European Society of Cardiology) tahun  2016, gagal jantung merupakan suatu sindrom klinik  dengan gejala-gejala khas seperti sesak, pembengkakan pada tungkai, mudah lelah dan  dapat disertai dengan tanda-tanda seperti peningkatan tekanan vena jugular, ronki, edema, yang disebabkan oleh gangguan struktural maupun fungsional  jantung. 
European Society of Cardiology membagi beberapa terminologi gagal jantung menjadi : Gagal jantung berdasarkan waktu kejadian. Kedua, gagal jantung berdasarkan derajat keparahan serta  gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi meliputi : Preserved, Mid-range dan Reduced Ejection Fraction.
Pasien yang tidak pernah menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda khas gagal jantung sebelumnya tetapi didapatkan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, disebut sebagai disfungsi sistolik  asimptomatik.  Gagal jantung sering berulang disebut gagal jantung kronik.  Gagal jantung yang mendapatkan terapi tanpa diikuti perubahan/ perburukan gejala dan tanda gagal jantung setidaknya dalam satu bulan disebut sebagai gagal jantung stabil. Sedangkan pasien dengan gagal jantung kronik stabil yang mengalami perburukan disebut sebagai dekompensasi. Gagal jantung de novo (onset baru) muncul dengan presentasi akut sebagai contoh akibat dari infark miokard akut atau dalam bentuk subakut seperti pada kardiomiopati dilatasi, yang sering memiliki gejala selama beberapa minggu atau bulan sebelum  tegaknya diagnosis.
Gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventikel kiri yang normal (LVEF ≥ 50%) disebut sebagai Heart Failure with Preserved Ejection Fraction atau HFpEF, sedangkan gagal jantung dengan nilai LVEF < 40%  disebut sebagai Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF).  Bila fraksi ejeksi ventrikel kiri berada pada angka 40-49% maka digolongkan sebagai Heart Failure with mid-range ejection fraction.  Klasifikasi pasien gagal jantung berdasarkan nilai fraksi ejeksi,  karena adanya perbedaan etiologi, demografik, komorbiditas dan respon terhadap terapi.1,
Dalam menilai derajat keparahan gejala gagal jantung,  pedoman ESC menggunakan klasifikasi fungsional NYHA sebagai acuan, sedangkan pedoman ACCF/AHA memiliki klasifikasi tersendiri terkait progresivitas gagal jantung yang berdasarkan pada perubahan struktural.  Klasifikasi Killip digunakan untuk menilai derajat keparahan pada infark miokard akut.

I.1.       FRAKSI EJEKSI
 Fraksi ejeksi adalah  fraksi dari darah  yang  dipompa keluar dari ventrikel terhadap volume  diastolik akhir.  Adapun formula yang digunakan sebagai berikut :
Fraksi Ejeksi :  Volume sekuncup / volume diastolik akhir
Volume sekuncup  :  Volume diastolik akhir – Volume   sistolik akhir.
Fraksi ejeksi dapat diukur dengan menggunakan  Ekokardiografi, MRI Kardiak,  CT scan jantung, maupun  kateterisasi. Namun dari sekian banyak pemeriksaan tersebut, ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan.






               


Gambar 1. Metode simpson’s untuk estimasi fraksi ejeksi ventrikel kiri

Gambar 2. Ilustrasi  End – Diastolic Volume, End-Sistolik Volume dan Stroke Volume.
I.2.  KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG
Pembagian stadium gagal jantung berdasarkan ACCF/AHA dan  klasifikasi fungsional New York Heart Association (NYHA) memberikan inforrmasi tentang keadaan dan tingkat keparahan suatu gagal jantung.  Kriteria ACCF/AHA menitikberatkan pada progresivitas penyakit, sedangkan NYHA memfokuskan pada gejala dan kemampuan aktivitas penderita.  Klasifikasi ACCF mengenali faktor risiko dan juga adanya abnormalitas struktur jantung yang terkait dengan gagal jantung. Peningkatan stadium sejalan dengan progresifitas penyakit yang makin berat dan berkaitan dengan penurunan angka survival rate dalam  5 tahun.1,2
 
Tabel  1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan nilai fraksi ejeksi (guideline ACCF/AHA).
Klasifikasi EF (%)     Deskripsi

I. HF
(HFrEF) ≤40

Disebut sebagai gagal jantung sistolik.
II. HF-PEF
≥50 Disebut sebagai gagal jantung diastolik

a. HFpEF, borderline 41 to 49 karakteristik  dan pola terapi  identik dengan HF-PEF
b. HFpEF, improve >40 pasien dengan HF-PEF yang sebelumnya memiliki HF-rEF
















Tabel  2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi menurut European Society of
Cardiology 2016.2

Tipe gagal jantung HFrEF HfmrEF HFpEF
Kriteria
1 Gejala dan tanda Gejala dan tanda Gejala dan tanda
2
LVEF < 40% LVEF 40-49% LVEF≥ 50%


1. Peningkatan kadar peptida natriuretik 1. Peningkatan kadar peptida natriuretik struktural (LVH dan atau LAE
3 2. Paling sedikit satu kriteria dibawah : 2. paling sedikit satu kriteria dibawah :
a. Penyakit jantung struktural (LVH dan atau LAE)
b. Disfungsi diastolik a. Penyakit jantung struktural (LVH dan atau LAE)
b. Disfungsi diastolik







Tabel  3. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan status fungsional dan abnormalitas struktural
KLASIFIKASI STADIUM ACCF/AHA KLASIFIKASI NYHA

a. Memiliki resiko tinggi HF tanpa gangguan struktural jantung Tidak ada

b. Penyakit Struktural jantung tanpa gejala      I tidak ada batasan aktivitas fisik

c. Penyakit struktural jantung heart      I tidak ada batasan aktivitas fisik
    II batasan ringan aktivitas, nyaman saat beristirahat
   III
Aktifitas fisik terbatas,pada kegiatan seperti biasa
   IV gejala muncul pada keadaan istirahat


d. Gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi khusus. Gejala saat istirahat

II.  EPIDEMIOLOGI
Lima koma tujuh juta jiwa penduduk Amerika menderita gagal jantung saat ini.  Angka tersebut diperikirakan meningkat menjadi lebih dari 8 juta jiwa dengan peningkatan 46% angka kejadian.   Di Spanyol, angka kejadian gagal jantung meningkat dari 895 per 100.000 penduduk per tahun, dari 2000 hingga 2.126 kasus pada tahun 2007. Dari data tersebut  prevalensi  HFpEF didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan HFrEF.    Studi berbasis populasi melaporkan bahwa kejadian HFpEF  ditemukan lebih banyak  pada wanita  dan usia tua dengan komorbid seperti obesitas, hipertensi, gagal ginjal kronik, penyakit jantung koroner, anemia, hiperlipidemia, serta diabetes, ,   dengan angka  mortalitas maupun morbiditas pasien HFpEF yang lebih dari pasien HFrEF walaupun dalam beberapa studi lainnya  melaporkan mortalitas yang sama. ,  Di sisi lain penelitian metaanalisis  menunjukkan bahwa pasien HFpEF memeliki kemampuan bertahan hidup lebih baik.
Gagal jantung memiliki prognosis yang kurang baik.  Sekitar 50%  pasien meninggal dalam empat tahun setelah diagnosis.  Data dari European Society of  Cardiology melaporkan bahwa angka hospitalisasi dalam 12 bulan mencapai 44 % dengan tingkat mortalitas sebesar  17%. Data ini juga  menegaskan bahwa  kematian tiba- tiba  dan perburukan gagal jantung  menjadi penyebab kematian pada pasien. Meskipun Tingkat mortalitas HFrEF lebih tinggi dibandingkan dengan HFpEF, prognosis dan angka hospitalisasi keduanya tidak jauh berbeda. 

III.  ETIOLOGI
Secara umum penyebab dari gagal jantung adalah sebagai berikut : 2
III.1.  Aritmia
- Takiaritmia
- Bradiaritmia
III.2. Gangguan Pembebanan
- Hipertensi
- Defek pada katup dan otot jantung :
Kongenital ( defek septum atrium dan ventrikel)
Didapat (penyakit katup mitral, aorta, pulmonal dan trikuspid)
- Gangguan pada pada endokardium
Sindrom hipereosinofilik, fibrosis endomiokardial, fibroelastosis endokard
- Gangguan pada perikardium
Pericarditis konstriktif
Efusi perikard
- High output  (Anemia berat, tirotoksikosis, kehamilan, penyakit paget)
- Volum overload ( gagal ginjal, overload cairan)
III.3.  Penyakit Jantung Iskemik
- Skar miokard, miokardial stunning, gangguan mikrosirkulasi koroner.
- Kerusakan toksik (alkohol, cocaine, amphetamine, anabolic steroids. Logam berat seperti tembaga,  besi, cobalt. Obat sitostatik ( anthracyclines), immunomodulator (interferons monoclonal antibodi seperti trastuzumab, cetuximab), obat antidepresan, antiaritmik, radiasi)
- Kerusakan yang dimediasi sistem Imun.
- Gangguan metabolik

IV.  PATOFISIOLOGI
Adapun proses patofisiologi yang mendasari HFpEF adalah sebagai berikut :                                     
IV.1.   Disfungsi diastolik ventrikel kiri
Disfungsi diastolik merupakan kondisi patofisiologik yang berkaitan dengan adanya gangguan relaksasi dan penurunan daya regang otot jantung atau kombinasi keduanya yang menyebabkan peningkatan tekanan pengisian. Disfungsi diastolik ventrikel kiri yang muncul tanpa penyakit endokardium maupun perikardium terjadi akibat peningkatan kekakuan otot miokardium.  Terdapat dua kompartemen yang mengatur kondisi tersebut dalam otot jantung yaitu matriks ekstraseluler dan kardiomiosit. Perubahan kekakuan pada salah satu kompartemen akan melibatkan kompartemen lain melalui protein matriseluler.  , ,
IV.1.1.  Matriks Ekstraseluler
  Kekakuan matriks ekstraseluler dipengaruhi oleh kolagen melalui regulasi terhadap jumlah relatif kolagen tipe I dan derajat persilangan kolagen. Mekanisme tersebut  terlibat pada HFpEF. Deposisi kolagen tipe 1 secara berlebihan terjadi akibat ketidakseimbangan antara sintesis yang berlebihan terhadap penurunan degradasi kolagen.  Beberapa langkah dalam sintesis kolagen tipe 1 ditunjukkan sebagai berikut :














Gambar  3 . Tahapan sintesis dan degradasi kolagen tipe 1. PCP, prokolagen tipe 1 karboksil proteinase; PNP, pro-kolagen tipe 1 N terminal proteinase; PICP, PINP, karboksiterminal dan amino-terminal propeptid; MMP, matrix metalloproteinase.

IV.1.2.  Kardiomiosit
Pemeriksaan biopsi endomiokardial pada sepertiga pasien dengan HFpEF, menunjukkan fraksi volume kolagen yang normal.  Temuan ini menunjukkan bahwa selain deposisi kolagen,  kekakuan intrinsik otot  jantung  juga berperan terhadap disfungsi diastolik ventrikel kiri pada kejadian HFpEF. Kekakukan otot jantung ini berkaitan dengan protein sitoskleton berukuran besar  dalam otot jantung yang disebut titin. ,   Pada jantung yang normal, akselerasi ventrikel kiri akan meningkat saat heart rate meningkat sedangkan pada HFpEF, relaksasi ventrikel kiri yang lambat, menyebabkan penurunan stroke volume saat peningkatan  heart rate.
IV.2.  Disfungsi  Sistolik
Left Ventricular Ejection Fraction merupakan parameter yang dipakai dalam mengukur fungsi sistolik.  Parameter tersebut sangat bergantung dengan beban ventrikel kiri dan relatif tidak sensitif  terhadap gangguan fungsi ventrikel kiri yang tersembunyi. Beberapa studi yang dilakukan gagal menunjukkan adanya abnormalitas sistolik, namun beberapa studi lain  melalui evaluasi non-invasif dengan ekokardiografi menemukan bahwa fungsi sistolik ventrikel kiri tidak sepenuhnya normal. Dengan teknik ekokardiografi specle-tracking, komponen deformitas selama fase sistolik yang dapat dinilai. Deformitas tersebut berupa pemendekan bidang longitudinal, penebalan radial, dan pemendekan sumbu circumferential.  Penelitian yang dilakukan oleh Kraigher menunjukkan meningkatnya prevalensi gangguan fungsi longitudinal ventrikel kiri, bahkan pada mereka dengan LVEF > 55%.  Longitudinal Strain yang buruk berkaitan secara signifikan dengan angka NT-proBNP  yang lebih tinggi. 
IV.3.   Atrium Kiri
Gangguan pengosongan atrium kiri sering ditemukan pada HFpEF, yang ditandai dengan ukuran  dan fungsinya yang abnormal.  Pada penelitian CHARM-Preserved study, indeks volum atrium kiri lebih dari 32 ml/m2 pada 71% pasien,  dan pada studi I-PRESERVE dengan menggunakan ekokardiografi, didapatkan 66% pasien memiliki pembesaran atrium kiri. Ukuran atrium kiri sendiri merupakan prediktor pada HFpEF. 










Gambar  4A. Prevalensi remodeling konsentrik dengan menggunakan kriteria  RWT (Relative Wall Thickness) dan LVH. Pada pasien HFpEF, prevalensi LVH sebanyak 29% dan dengan remodeling konsentrik sebanyak 25%.  4B. Prevalensi remodeling  konsentrik dengan menggunakan criteria M/V dan LVH.  Prevalensi  LVH  sebanyak  29%, dan  konsentrik remodeling sebanyak 30%. Sehingga  mayoritas pasien HFpEF memiliki remodeling ventrikel kiri.  4C.  Prevalensi pembesaran  atrium kiri sebanyak 66%. Ukuran atrium kiri menggambarkan tekanan diastolik yang terintegrasi sepanjang waktu.  Data ini menunjukkan bahwa pasien HFpEF mayoritas memiliki peningkatan diastolik.  4D. prevalensi disfungsi diastolik diklasifikasikan berdasarkan derajat 1 hingga 3 dan 69% pasien HFpEF, memiliki disfungsi diastolik.

IV.4.  Gangguan Fungsi Endotel
Komorbiditas membuat disfungsi endotel juga berperan dalam disfungsi kardiomiosit pada HFpEF, remodelling konsentrik ventrikel kiri, hingga disfungsi diastolik secara dominan. Sebaliknya pada HFrEF, cedera kardiomiosit menjadi faktor kunci aktivasi neuroendokrin sistemik, remodeling eksentrik ventrikel kiri dan disfungsi sistolik.





















Gambar  5.  Hubungan komorbiditas pada HFpEF dengan Hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit ginjal kronik, penyakit paru obstruktif, anemia, dan defisiensi zat besi.

Hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit ginjal kronik, anemia, penyakit paru obstruktif, defisiensi zat besi pada HFpEF, menyebabkan inflamasi mikrovaskuler dan aktivasi endotel.  Efek  terhadap  kardiomiosit terjadi melalui penurunan bioavailabilitas nitric oxide (NO), penurunan cyclic guanosine monophosphate (cGMP), perubahan fosfolirasi titin,  ischemia mikrovaskuler,  remodeling konsentrik ventrikel kiri serta fibrosis endotel. Sedangkan pada HFrEF, cedera langsung terhadap otot jantung seperti pada infark miokard akan menyebabkan nekrosis kardiomiosit, apoptosis sel dan remodeling eksentrik. 21
Aktivasi neuroendokrin ditemukan pada HFrEF maupun HFpEF.  Remodeling  merupakan efek yang dominan pada HFrEF, sehingga pemberian antagonis renin-angiotensin-aldosterone dan adrenergic system,  efektif dalam memperbaiki  survival  pada HFrEF.  Disfungsi endotel kardiovaskuler juga ditemukan pada keduanya.  Namun  disfungsi endotel lebih dominan dalam patofisiologi dan  luaran akhir dari HFpEF.  Tatalaksana terhadap disfungsi endotel bisa menjadi strategi kunci pada HFpEF.
IV. 5.   Kekakuan Ventrikel-Arteri
Hipertensi arterial ditemukan pada usia lanjut dengan HFpEF  dan berkaitan dengan kekakuan ventrikel dan vaskular.   Perfusi koroner ventrikel kiri bergantung  pada tekanan diastolik arteri.  Tujuh puluh persen aliran darah koroner terjadi pada saat periode diastolik.  Ketika jantung memompa darah ke dalam struktur vaskuler yang kaku, maka aliran darah koroner  menjadi semakin bergantung saat periode diastolik. Perubahan  pola perfusi ini menyebabkan jantung menjadi lebih sensitif terhadap perubahan mendadak performa sistolik. Ketika jantung memompa pada sistem arteri yang lebih compliant, bila terdapat oklusi arteri koroner yang mendadak, maka akan dikompensasi  dengan dilatasi moderat ruang  jantung dan penurunan tekanan sistolik. Bila kasus serupa terjadi pada sistem vaskuler yang kaku maka  ruang jantung akan berdilatasi lebih besar dan mengeksaserbasi kondisi iskemia dan penurunan fungsi jantung. Hipertensi pada umumnya akan disertai dengan hipertrofi ventrikel kiri atau remodeling konsentrik otot  jantung.  Dalam sebuah studi observasi terhadap pasien dengan HFpEF, massa rata-rata ventrikel kiri berada diatas nilai standar deviasi yang memenuhi kriteria hipertrofi ventrikel kiri.  Hipertrofi miosit meningkat secara moderat dalam miofibril dan meningkatkan kekakuan pasif dari myosit dalam sel triton-skinned.  Kekakuan pasif ventrikel berkaitan erat dengan kekakuan ruang jantung saat fase diastolik pada penderita HFpEF.  , , 
IV.6. Fungsi Cadangan Kardiovaskuler
 Keluhan pada pasien HFpEF paling sering muncul saat latihan atau olahraga.   Kitzman et al., melaporkan bahwa terdapat gangguan fungsi cadangan diastolik pada pasien HFpEF yang ditandai dengan penurunan  preload ventrikel (end-diastolic volume) saat latihan dibandingkan subjek kontrol, dan disaat yang sama didapatkan peningkatan tekanan pengisian ventrikel yang bermakna, meskipun sampel yang didapatkan dalam jumlah yang kecil  (n = 7) dan sebagian besar subjek  memiliki  gangguan struktural berupa  kardiomiopati hipertrofik yang menyebabkan disfungsi diastolik. Pada suatu studi tissue-doppler didapatkan peningkatan gangguan relaksasi awal (E’ velocity) dengan gangguan cadangan lusitropik.  Dobutamine stimulation test  pada pasien HFpEF,  juga menunjukkan gangguan cadangan lusitropik. Disfungsi diastolik yang diinduksi oleh dobutamine stress test disebabkan oleh kondisi iskemia, peningkatan tekanan darah dan takikardia. Iskemia miokard mengganggu relaksasi ventrikel lebih awal dibandingkan dengan kontraksi sistolik.  Stress induce tachycardia memperberat relaksasi diastolik pada kondisi iskemia melalui peningkatan  kebutuhan oksigen dan penurunan durasi perfusi koroner. Pemendekan waktu diastolik menyebabkan durasi relaksasi lebih pendek dan  hal ini diperberat oleh kondisi hipertrofi dan fibrosis otot jantung yang menyebabkan penurunan kemampuan otot jantung untuk meningkatkan fase relaksasi. 

V.   GEJALA KLINIK
Gagal jantung berkaitan dengan abnormalitas fungsional ventrikel kiri dengan spektrum yang luas, mulai dari ukuran ventrikel dan fraksi ejeksi yang normal hingga pada dilatasi berat ventrikel  serta fraksi ejeksi yang menurun.  Abnormalitas sistolik dan diastolik ditemukan bersama pada beberapa pasien. Fraksi ejeksi merupakan parameter penting dalam klasifikasi gagal jantung karena adanya perbedaan demografik, komorbid, prognosis dan respon terhadap terapi pada tiap pasien serta uji klinik yang umumnya melakukan seleksi pasien berdasarkan fraksi ejeksi.

Tabel  4. Gejala dan tanda khas gagal jantung.
Gejala Tanda
Khas Lebih spesifik
Sesak napas
Orthopnea
Paroxysmal nocturnal dyspnoea
Penurunan kapasitas latihan
Mudah Lelah,
Pembengkakan tungkai
Peningkatan tekanan vena Juguler
Bunyi gallop
Impuls apeks bergeser ke lateral
Kurang Khas Kurang spesifik
Batuk malam hari
Nafsu makan berkurang
Konfusi
Depresi
Palpitasi
Sinkop
Penambahan berat badan  (>2 kg/minggu) Penurunan berat badan  (pada gagal jantung lanjut)
Kaceksia
Murmur jantung
Edem perifer (tungkai, skrotum)
Krepitasi paru
Efusi pleura
Takikardia
Nadi tidak teratur
Takipnea
Pernapasan Cheyne-Stokes
Hepatomegali
Asites
Ekstremitas dingin
Oliguria
Tekanan nadi yang menyempit

VI.   DIAGNOSIS
  Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal disertai tanda dan gejala gagal jantung, tidak spesifik dan tidak mampu membedakan dengan baik antara gagal jantung dan kondisi klinis lainnya. Untuk meningkatkan spesifitas diagnosis HFpEF, maka diagnosis klinis harus ditunjang dengan pengukuran objektif disfungsi jantung baik dalam keadaan istirahat maupun dalam keadaan latihan. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
Adanya gejala dan atau tanda-tanda gagal jantung
Preserved  Ejection Fraction (nilai LVEF ≥50% atau 40-49% untuk HF-mrEF)
Peningkatan kadar Peptida natriuretik  (BNP 35 pg / mL dan / atau NT-proBNP 125 pg / mL)
Bukti objektif dari perubahan fungsional dan struktural jantung lainnya yang mendasari gagal jantung
VI.1.   B-Type natriuretic peptide (BNP)
Peptida natriuretik terdiri atas 3 kelompok besar yaitu ANP (Atrial Natriuretic Peptide, BNP (Brain Natriuretic Peptid) dan CNP (C-Natriuretic Peptid).  Ketiganya dalam bentuk prohormon yang selanjutnya dipecah menjadi  N-terminal peptide dan C-terminal peptide yang merupakan bentuk aktif.  Atrial Natriuretic Peptide dihasilkan oleh sel atrium, sedangkan BNP dihasilkan oleh otot ventrikel, dan dalam jumlah kecil oleh atrium. Sintesis dan sekresi keduanya distimulasi oleh peningkatan stress dinding otot jantung selama peningkatan tekanan dan volume dalam ruang atrium/ventrikel. Ikatan dengan reseptor NPA (Natriuretic Peptide Receptor) menyebabkan diuresis, natriuresis, vasodilatasi dan inhibisi terhadap RAA sistem. Oleh karna gejala dan tanda gagal jantung seringkali tidak spesifik terutama pada usia tua juga pada pasien obesitas dengan gejala respiratorik, maka penelitian l0 tahun terakhir menunjukkan bahwa kadar Natriuretic Peptide yang tinggi sangat erat kaitannya dengan status fungsional New York Heart Association (NYHA).  Aksi fisiologis utama dari peptida natriuretik adalah untuk menurunkan tekanan arteri dengan cara menurunkan volume plasma dan tahanan vaskuler sistemik. ,
Parameter lain yang dapat digunakan adalah NT ProB-type Natriuretic peptide (NT-proBNP), secara biologis merupakan bentuk inaktif setelah pemecahan proBNP menjadi bentuk hormon BNP aktif.  BNP dan NT-proBNP saling berkaitan satu sama lain.  Namun bersihan NT-proBNP secara khusus melalui ginjal, sementara hormon BNP juga dibersihkan melalui hati, sehingga membuat perbedaan waktu paru dari kedua hormon tersebut. ,















Gambar 6. Susunan asam amino A-natriuretic peptid, B-natriuretic peptid, dan C-natriuretic peptid.23

Peptida natriuretik meningkat secara moderat pada pasien dengan HFpEF  dan kadarnya turun mendekati normal saat bebas gejala. Hal ini terjadi karena peptida natriuretik dilepaskan dan diproduksi sebagai respon stress terhadap otot jantung. HFpEF ditandai dengan otot jantung yang mengalami hipertrofi dengan rongga ventrikel kiri yang mengecil.  abnormalitas struktural tersebut sendiri tidak menyebabkan peningkatan beban diastolik akhir, sebagaimana ditujukkan pada gambar berikut :


Gambar 7.  Hukum Laplace

VI.1.1.  Brain Natriuretic Peptide Dalam Diagnosis CHF
Penelitian yang dilakukan oleh  Davis melalui pengukuran kadar ANP dan BNP pada 52 pasien dengan sesak napas akut mendapatkan kadar BNP plasma lebih akurat dalam merefleksikan diagnosis akhir dibandingkan dengan fraksi ejeksi dan ANP.  Dalam penelitian lain disebutkan bahwa pasien yang terdiagnosis CHF memiliki kadar BNP rata-rata sebesar  1076±138 pg/mL,  sedangkan pada kelompok non-CHF memiliki kadar BNP sebesar 38±4 pg/mL. Nilai cut point  BNP sebesar 80 pg/mL sangat sensitif dan spesifik dalam  mendiagnosis CHF dengan nilai prediksi negatif BNP dibawah 80 pg/mL sebesar 98%. ,
Pro-Brain Natriuretic Peptide merupakan prekursor yang terdiri atas 108 asam amino. Oleh enzim protease diubah menjadi BNP (bentuk aktif) yang terdiri atas 32 asam amino, lalu BNP ini akan berubah menjadi bentuk inaktif yaitu NT-pro BNP. N-terminal proBNP memiliki waktu paruh lebih lama dibandingkan dengan BNP dan tidak dipengaruhi oleh pemberian BNP eksogen seperti Nesiritid.  N-terminal pro BNP bergantung pada eliminasi ginjal dengan waktu paruh sekitar 2 jam dibandingkan dengan waktu paruh BNP 22 menit. Dalam diagnosis CHF,  NT-pro BNP memiliki sensitivitas sebesar 99%, spesifitas 85% dan nilai prediksi negatif 99%.
VI.2. Ekokardiografi
Fraksi ejeksi ventrikel kiri yang normal tidak identik dengan fungsi sistolik yang normal.  Fraksi ejeksi ventrikel kiri merupakan pengukuran secara keseluruhan, oleh karena itu kemampuan dalam mewakili disfungsi sistolik dapat diimplementasikan jika derajat disfungsi kontraktil otot jantung dipertimbangkan.  Otot ventrikel kiri memiliki arsitektur berlapis dimana unit fungsional saling terkait satu sama lain bukan sebagai unit terpisah. Sehingga gangguan fungsi kontraktil pada satu lapisan akan dikompensasi dengan peningkatan fungsi unit lainnya, sehingga tetap mempertahankan  LVEF dalam batas normal. Pengenalan konsep mendasar ini, menjadi alasan  mengapa klasifikasi gagal jantung systolik dan diastolik mulai ditinggalkan dan diubah menjadi Klasifikasi HFpEF dan HFrEF. Meskipun nomenklatur tersebut hanya memaparkan abnormalitas fungsional otot jantung secara keseluruhan.  Studi terbaru yang memfokuskan pada mekanik otot jantung menunjukkan pola spesifik abnormalitas tersebut dalam tiga kelompok besar yaitu : (1) HF dengan disfungsi logitudinal,  (2) HF dengan disfungsi transmural (longitudinal, radial, dan circumferential), dan (3) HF dengan disfungsi predominan circumferential.


Gambar 8. Disfungsi kardiak dengan penurunan fungsi longitudinal ventrikel kiri












Gambar  9. Speckle-tracking echocardiography pada pasien dengan  gagal jantung.


















Gambar  10. Kriteria Echo doppler untuk klasifikasi fungsi diastolik










































Gambar  11. Alur diagnosis gagal jantung.2


VII. TATALAKSANA  HFpEF
             Data dari studi acak terhadap HFpEF sangat kurang, meskipun beberapa penelitian skala besar telah dilakukan.  Kekurangan data penelitian pada HFpEF diakibatkan oleh keterbatasan data epidemiologi,  akurasi diagnosis,  dan kesulitan dalam mendaftarkan pasien HF-pEF yang pada umumnya usia tua dan memiliki banyak komorbiditas sehingga dikeluarkan dari uji coba penelitian.  Pedoman tatalaksana gagal jantung dari guideline ESC mengakui kurangnya bukti dalam tatalaksana HFpEF. Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak napas dan edema merupakan satu-satunya yang direkomendasikan.  Menurut beberapa ahli, fokus tatalaksana ditujukan pada kondisi yang mendasari seperti hipertensi,  iskemia miokard, pengendalian denyut jantung serta pengembalian ke irama sinus.  Berikut beberapa obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana HFpEF.
VII.1 Beta-Bloker dan Calcium-Channel Bloker
Nebivolol merupakan beta-1-selective blocker dengan kemampuan vasodilatasi yang dengan cara modulasi nitrit oxida. Efek ini memperbaiki tolerabilitas pada pasien usia tua dengan gagal jantung yang memiliki cadangan vasodilator endotel yang terbatas.  Terdapat bukti bahwa  nebivolol bermanfaat pada pasien dengan disfungsi diastolik. SENIORS study (Study of the Effects of Nebivolol Intervention on Outcomes and  Rehospitalisation in Seniors with Heart Failure) menunjukkan bahwa tatalaksana pasien usia tua dengan gagal jantung dengan nebivolol menurunkan risiko mortalitas dan insidens rawat inap dibandingkan dengan placebo. Manfaat tersebut didapatkan setelah 6 bulan terapi, dan penurunan resiko tersebut berlanjut dengan durasi terapi yang lebih lama. Obat tersebut mampu ditoleransi oleh pasien dan mayoritas diantara mereka mampu mencapai dosis maintenans 10 mg sekali sehari setelah titrasi bertahap. Didapatkan penurunan sebesar 14% dalam hal penyebab mortalitas pada pasien jantung. Manfaat serupa didapatkan  pada  pasien dengan pada LVEF> 35%. Namun, cut-off dari LVEF yang dipakai adalah 35%. Oleh karena itu tidak ada hasil yang betul-betul bermakna yang dapat diperoleh dari penelitian ini. Terkait dengan pemberian nebivolol jangka panjang terhadap perbaikan gejala klinis, kapasitas olahraga, dan fungsi ventrikel kiri dengan disfungsi diastolik, Nebivolol tidak memberikan dampak terhadap tanda dan gejala  HFpEF. ,
VII.2.   Ivabradine
Guideline telah merekomendasikan alternatif terapi terhadap gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi  dengan pemberian ivabradine. Ivabradine merupakan inhibitor selektif  terhadap  “funny” (If) channel yang dapat menurunkan heart rate, memiliki kemampuan inotropik negatif sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan gagal jantung sistolik. Pada stadium awal HFpEF masalah utama yang muncul adalah gangguan relaksasi sebelum adanya  gangguan komplians dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel. Peningkatan Heart rate saat latihan disertai dengan penurunan waktu pengisian ventrikel, lalu diikuti oleh peningkatan tekanan pengisian, pada akhirnya akan menyebabkan intoleransi aktivitas.  Terapi yang mampu memperpanjang masa pengisian akan mengurangi tekanan pengisian sehingga sesak akan berkurang. Meskipun fungsi tersebut dapat diperoleh dari beta blocker,  namun mempunyai efek yang tidak menguntungkan yaitu efek kronotropik negatif. Sehingga Ivabradine dipersepsikan memiliki potensi yang sama tanpa memiliki efek yang tidak menguntungkan tersebut. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa Ivabradine dapat menurunkan exercise intolerance pada pasien dengan HFpEF. Namun demikian, penelitian EDIFY study (prEserveD left ventricular ejection Fraction with ivabradine studY melaporkan bahwa efek penurunan heart rate tidak memperbaiki outcome. 
VII.3.  Digitalis
Digoxin dipertimbangkan dalam tatalaksanan HFrEF oleh karena efek inotropiknya.  Digoksin juga memiliki efek terhadap fungsi baroreseptor dan penurunan aksi simpatis serta stimulasi neurohormonal yang mendukung potensinya pada HFpEF.   Ahmed et al. melakukan penelitian selama 2 tahun  follow up mendapatkan penurunan kematian dan hospitalisasi,  namun setelah melewati rerata 37 bulan follow up, tidak didapatkan perbedaan. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa digoksin tidak memiliki efek terhadap mortalitas dan hospitalisasi gagal jantung. 
VII.4.   ACE-INHIBITOR dan ARB
Penelitian Perindopril for Elderly People with Chronic Heart Failure yang melibatkan 850 pasien dengan preserved LVEF (LVEF > 40%), dengan bukti ekokardiografi yang menunjukkan adanya disfungsi diastolik.   Tidak terdapat penurunan signifikan setelah follow-up rata-rata 26.2 bulan, terhadap semua penyebab mortalitas atau perawatan pasien dengan gagal jantung pada kelompok perindopril.
Penelitian Candesartan in Heart failure Assessment of Reduction in Mortality and morbidity dengan 3023 pasien gagal jantung dan preserved LVEF (LVEF ≥ 40%) mendapatkan hasil yang tidak signifikan terhadap kematian kardiovaskuler sebagai luaran utama. Namun didapatkan penurunan signifikan hospitalisasi pada kelompok Candesartan. Sedangkan Irbesartan in HF with Preserved Systolic Function trial dengan jumlah pasien lansia 4128 dengan preserved LVEF (LVEF≥45%), juga tidak didapatkan penurunan signifikan dalam luaran utama.


Tabel  5. Beberapa penelitian efek obat terhadap HF-pEF. 

VII. 5. Diuretik
Diuretik berperan dalam mengontrol gejala-gejala overload pada pasien dengan HFpEF.  Dengan menurunkan kongesti, ventrikel akan lebih komplians terhadap hubungan tekanan–volume.24  Namun diuretik tidak bermanfaat pada pasien tanpa disertai bukti klinis volume overload,  oleh karena penggunaan diuretik beresiko terhadap pasien euvolemik.  Data terkait penggunaan diuretik pada pasien HFpEF masih sedikit.  Pada penelitian retrospective ALLHAT Trial,  diuretik thiazide mampu menurunkan insidens HFpEF pada pasien hipertensi dibandingkan dengan lisinopril, amlodipin, dan doxazosin.  Sedangkan pada Hongkong Diastolic Heart Failure Study, pasien HFpEF secara acak diberikan diuretik tunggal sedangkan yang lainnya diberikan diuretik dan  irbesartan atau ramipril. Skor kualitas hidup meningkat pada semua kelompok. sehingga peneliti menyimpulkan bahwa diuretik memperbaiki gejala pada  HFpEF.
VII.6.  Antagonis Aldosterone
Sistem renin–angiotensin–aldosterone (RAAS) merupakan target potensial dalam tatalaksana  HFpEF berdasarkan bukti klinis manfaat pada HFrEF.  Penghambatan aldosterone sebagai  target tatalaksana HFpEF, oleh karena peran aldosterone yang berkaitan dengan retensi cairan dan fibrosis ventrikel. Terdapat dua penelitian terhadap peran antagonis aldosteron pada HFpEF: Aldosterone Receptor Blockade in Diastolic Heart Failure (ALDO-DHF) dan Treatment of Preserved Cardiac Function Heart Failure With an Aldosterone Antagonist (TOPCAT). Penelitian ALDO-DHF gagal mendapatkan perbaikan fungsional meskipun fungsi diastolik mengalami perbaikan pada pemeriksaan ekokardiografi. 
Penelitian TOPCAT dengan jumlah sampel lebih besar, dan melalui studi acak dilakukan untuk meneliti efek antagonis aldosterone terhadap luaran klinis HFpEF. Pada penelitian itu, pasien gagal jantung simptomatik dengan LVEF lebih atau sama dengan 45%, mereka dengan riwayat menjalani rawat inap sebelumnya dengan gagal jantung maupun mereka dengan peningkatan kadar peptida natriuretik, secara acak mendapatkan spironolactone atau plasebo. Sebanyak 3445 pasien dengan usia rerata 68 tahun, dan 50% perempuan.  Setelah follow-up rata-rata 39 bulan, tidak didapatkan perbedaan signifikan dalam primary endpoint berupa kematian dengan penyebab kardiovaskuler, maupun henti jantung. Meskipun didapatkan insidens kejadian rawat inap lebih rendah pada kelompok spironolactone. 
VII.7.  Statin
Studi observasi terhadap 137 penderita HFpEF yang dilakukan oleh Fukuta dan kawan-kawan mendapatkan hasil bahwa setelah follow up rata-rata selama  21 bulan, statin dihubungkan dengan angka kematian yang lebih rendah secara signifikan. Sedangkan  Angiotensin Converting Inhibitors (ACEI), ARB, β-blockers, dan calcium channel blocker tidak menunjukkan perbaikan survival.   Akan tetapi  penelitian yang dilakukan oleh GISSI-HF Trial (Efek dari rosuvastatin pada pasien dengan gagal jantung kronik) yang melakukan uji efek rosuvastatin terhadap mortalitas dan kematian pasien rawat inap akibat penyakit kardiovaskuler pada pasien CHF, menunjukkan bahwa tidak didapatkan manfaat terapi terhadap subgrup dengan preserved EF.

VII.8. TERAPI NON-FARMAKOLOGIS
VII.8.1. Revaskularisasi
Iskemia miokard akut menyebabkan gangguan akut fungsi sistolik maupun diastolik,   serta menyebabkan cadangan abnormal kardiovaskuler saat stress  sehingga revaskularisasi dapat bermanfaat bagi pasien HFpEF. Akan tetapi, data retrospektif menunjukkan bahwa episode udem paru akut tetap berulang meskipun telah dilakukan intervensi koroner.   Data prospektif terkait HFpEF masih sangat kurang, sementara disaat yang sama. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Heart Failure Revasculartization Trial (HEART) Trial menyimpulkan kurangnya manfaat revaskularisasi  pada  pasien  dengan HFrEF (EF≤35%) and dan miokard yang masih viable. 
VII.8.2. Kapasitas latihan
Kapasitas latihan mengalami penurunan pada HFpEF seperti pada HFrEF. Program latihan mampu meningkatkan kapasitas aerobik dan status fungsional pada pasien HFrEF.  Dan mampu memperbaiki abnormalitas disfungsi endotel pada HFpEF.  Masih sedikit data  publikasi mengenai peranan program latihan pada HFpEF.  Data menunjukkan bahwa atlit memiliki komplians diastolik ventrikel yang jauh lebih baik dibanding individu sehat pada umumnya.   Namun sebaliknya,  penelitian Prasad dan kawan kawan melalui studi cross-sectional  menemukan bahwa latihan ketahanan terhadap beberapa pasien usia lanjut lebih dini,  tidak mampu mencegah penurunan kemampuan relaksasi diastolik akibat faktor usia.  Studi intervensi jangka pendek melaporkan hasil yang berbeda-beda terhadap efek latihan kapasitas pada fungsi diastolik. 

VII.9. Penelitian Obat-Obat Baru
Bukti klinis yang sudah dipublikasikan menunjukkan kegagalan dengan terapi konvensional dengan menggunakan terapi HFrEF. Terapi terkini difokuskan terhadap target terapeutik baru pada HFpEF. Ketertarikan terhadap Phosphodiesterase-5 inhibitors (PDE5I)  yang memiliki aksi pleotropik mulai diujicobakan. Phosphodiesterase-5 inhibitors (PDE5I)  mampu menekan stimulasi adrenergik,  menurunkan kekakuan ventrikel-vaskular  dan remodeling ventrikel kiri,   meningkatkan fungsi endotel, dan menurunkan tahanan vaskuler pulmonal. ,  Dalam suatu studi tunggal didapatkan manfaat PDE5I pada pasien dengan HFrEF terutama dengan hipertensi pulmonal dan juga memberikan dampak positif pada mereka dengan hipertensi pulmonal disertai HFpEF. namun dalam penelitian terbaru pada studi RELAX (Evaluating the Effectiveness of Sildenafil at Improving Health Outcomes and Exercise Ability in People With Diastolic Heart Failure) menunjukkan efek netral, tidak menunjukkan adanya perbaikan terhadap kapasitas fungsional (perubahan VO2 puncak setelah 24 jam terapi).

VIII. RINGKASAN
HFpEF menjadi sesuatu yang menantang dalam hal diagnosis dan tatalaksana, adanya mekanisme yang tidak jelas dan konsisten diantara beberapa pasien yang didiagnosa HFpEF, variasi komorbiditas dan daftar panjang terapi yang telah gagal pada uji coba membuat HFpEF menjadi kebutuhan medis yang belum terpenuhi dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Tatalaksana Asma bronkial




Multipel myeloma
Bila ada tanda end organ damage yang merupakan tanda suatu proses neoplastik adapun tanda yang dimaksud adalah

Cari Abon(tanda MDE, multiorgan end damage)

Ca: hypercalcemia > 11
RI: renal insuffisiency cr > 2
A: anemia < 10
Bone: bone lytic, pada pemeriksaan bone survey, PET/CT

Namun bila gambaran diatas tidak ada maka IMWG (international multiple myeloma working group)2014 menambahkan kriteria tambahan sebagai berikut:
Dari BMP:
Klonal plasma sel lebih atau sama dengan 60%,
Darah:
 Serum free light chain sama atau lebih 100
Penunjang radiologi
ditemukan lebih dari satu lesi fokal pada pemeriksaan MRI

Diagnosis :
≥10% clonal bone marrow plasma cells atau biopsy jaringan terbukti  plasmacytoma+ 1 atau lebih MDE (multiorgan end damage)

Senin, 16 Juli 2018










Hodgkin lymphoma: 










Pendahuluan

Kasus awal: 1832 oleh thomas Hodgkin pada autopsi pasien dengan limfadenopati dan splenomegali. 1990: malignancy dari sel germinal. Post germinal center B sell( hodgkin lymphoma)

Karacteristiknya:  sel kanker dikelilingi oleh komponen inflamatorik seperti limfosit, eosinofil, neutrofil histiosit, dan plasma sel. Bila patognomonik dengan sel giant, dan Mononuklear sel yang besar maka disebut sel Reed‐Sternberg (HRS) cells.


Etiologi: 
Epstein‐Barr virus (EBV)---> infeksi mononukleosa---> Limfoma
EBV, menyebar melalui saliva
Risk factor:
Imunosupresi.
HIV
 Klasifikasi:
- classical HL (cHL)---> 90% terbagi atas 4:
 1. Nodular sklerosis---> 70%.  Khas: neoplastic lacunar‐type HRS cells (inflammatory background of band‐forming sclerosis) Mediastinal adenopathy ( 80% kasus) 
bulky nodes (diameter >10 cm ).
NSCHL memiliki prognosis paling baik.

 2. Mixed cellularity, ( 20% hingga 25% )of cHL lebih sering pada infeksi HIV dan negara berkembang. Khas:  diffuse, mixed, inflammatory background tanpa sklerosis
3.  Lymphocyte rich
4. Lymphocite depleted
-  Nodular lymphocyte‐predominant HL (NLPHL) --> jarang

Gejala klinis
1. Lymfadenopati yang tidak nyeri lymphadenopathy pada 3 tempat paling sering, mediastinum, leher kiri dan kanan. Walaupun bisa terdapat pada tempat lain.
2. Massa mediastinum bisa berkembang sangat pesat. Dengan ukuran diameter > 10 cm dan merupakan prognosis buruk pada tahap awal penyakit
B symptoms—demam, menggigil, keringat malam, penurunan berat badan tanpa sebab jelas >10%.

Diagnosis:
Lab: leukocytosis/neutrophilia and anemia 
Peningkatan LED
 core needle biopsies 
fine‐needle aspirates---> tidak bisa menunjukkan arsitektur.

Staging Hodgkin Lymphoma



Rabu, 11 Juli 2018

Polisitemia Vera
Polycythemia vera (PV) merupakan gangguan myeloproliferatif dengan  bcr/abl-
negative,
Gangguan myeloproliperatif klasik termasuk trombositopenia esensial dan mielifibrosis primer. Masing masing penyakit ini menunjukkan myeloproliferatif klonal stem sel. Yang mana PV ditandai dengan ekspansi  dengab morfologi sel darah merag normaltiga lini Each of these MPDs represents a stem-cell–
derived clonal myeloproliferation, with PV being characterized by
a trilineage expansion of morphologically normal red cells, white
cells, and platelets without significant bone marrow fibrosis.





WHO 2016 criteria untuk PV:
Hb> 16.5 gr/dl/HCT 49 laki laki
Hb> 16 gr/dl/HCT 48 perempuan
Dengan mutasi pada JAK 2
BMP:  PV dengan trombositosis esensial causa mutasi JAK 2
JAK2.

Kriteria diagnostik polisitemia vera study goup
Category A
1.  Total red blood cell mass – In males, greater than or equal to 36 mL/kg; in females, greater than or equal to 32 mL/kg
2.  Arterial oxygen saturation greater than or equal to 92%
3.  Splenomegaly
Category B
  1. Thrombocytosis with platelet count greater than 400,000/μL
  2. Leukocytosis with a white blood cell count greater than 12,000/μL
  3. Increased leukocyte alkaline phosphatase (ALP) greater than 100 U/L
  4. Serum vitamin B-12 concentration greater than 900 pg/mL or binding capacity greater than 2200 pg/mL
The diagnosis is established with A1 plus A2 plus A3 or A1 plus A2 plus any 2 criteria from category B.
Patofisiologi
Beberapa studi menunjukkan bahwa mutasi pada Janus kinase-2 gene (JAK2) merupakan gene yang terlibat dalam patogenesis PV karena JAK2 secara langsung terlibat dalam signaling intraseluler mengikuti paparan terhadap cytokine yang mana progenitor sel PV menunjukkan keadaan hipersensitivitas.

Trombosis dan bleeding merupakan komplikasi yang paling sering muncuk pada pasien dengan PV, dan muncul sebagai akibat dari gangguan hemostatik karena peningkatan kadar sel darah merah dan trombosit. Tissue faktor juga dihasilkan oleh sel darah putih. Dan  juga berkontribusi terhadap thrombosis.


Acquired von Willebrand syndrome  merupakan penyebab utama perdarahan pada PV, sekitar 12-15% pada pasuen. Von Willebrand syndrome berkaitan dengan  absorpsi  von Willebrand factor ke dalam platelet : menurunkan platelet.
Researchers believe that PV begins with one or more mutations in the DNA of a single hematopoitic stem cell, although it remains unclear exactly what initiates the disorder. Mutation in the JAK2 gene seems to be particularly important for the development of PV, as nearly all affected individuals have a mutation in this gene. Mutations in the JAK2 and TET2 genes are associated with polycythemia vera. The function of the TET2 gene is unknown. JAK2 gene mutations result in the production of a JAK2 protein that is constantly turned on (constitutively activated), which improves the cell’s ability to survive and increases production of blood cells. With so many extra cells in the bloodstream, abnormal blood clots are more likely to form. Thicker blood also flows more slowly throughout the body, which prevents organs from receiving enough oxygen. Many of the signs and symptoms of PV are related to a lack of oxygen in body tissues.

Gejala klinis:
Mild-moderate splenomegali
, mild-to-moderate
Gejala konstitusional seperti fatigue dan pruritus
Gejala hyperviskositas, leukocytosis,
thrombocytosis, microvascular(e.g., sakit kepal, gangguam visual, nyeri dada, erythromelalgia, paresthesia), 






Tatalaksana
1.konservatif pada low-risk PV (phlebotomy kombinasi dengan aspirin dosis 1 hingga 2 kali sehari)
2. Cytoreduktif   therapy pada“high-risk” patients; 
Lini 1, hydroxiurea
Lini 2: peg interferon
Lini 3: busulfan 

Pertimbangkan JAK2 inhibitor therapy bila ada  gatal yang terus menerus dan pembesaran limpa. Oleh karna bila ada gejala tersebut, umumnya refrakter dengan pengobatan cytoreduktif.




Obat obat dalam ilmu penyakit dalam

  Fe : ferosfat effervescent Cytodrox Anegrelide Sandimun Hydroxiurea (cytodrox) Gleevec (imatinib) 1x3 tablet Tasigna Rebo z (utk itp) Jurn...