KLASIFIKASI KLINIK COVID-19
Klasifikasi COVID-19 sangat penting karena komplikasi terkait koagulopati sangat tergantung dari stadium klinik ini. Klasifikasi klinik COVID-19 menggunakan kriteria:
Ringan : gejala klinis ringan, tidak ada konsolidasi atau pneumonia dari pemeriksaan radiologi paru.
Moderat : Terdapat demam dan gejala respiratorik, dan pneumoia dari pemeriksaan radiologi paru.
Berat : pasien dengan salah satu kondisi berikut ini: distres respirasi dengan laju pernapasan ≥ 30 x/menit; SpO2 ≤ 93%; PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg.
Sakit kritis : pasien dengan gagal nafas yang membutuhkan support ventilator mekanik; syok; gagal organ yang memerlukan perawatan intensive care unit (ICU)
PATOGENESIS KOAGULOPATI
Pasien COVID-19 berada dalam kondisi hiperkoaguabilitas, terutama kasus berat dan sakit kritis. Patogenesis hiperkoagulabilitas pada COVID-19 diperkirakan karena inflamasi sistemik dan gangguan endotel yang menyebabkan hiperkoagulabilitas.
Triad Virchow merupakan inti dari
patogenesis terjadinya trombosis, yaitu:
A. Kerusakan endotel : Terdapat bukti kuat adanya invasi SARS-CoV2 ke endotel yang memiliki reseptor ACE-2 yang cukup banyak.Mediator inflamasi yang terjadi akibat respon inflamasi sistemik seperti interleukin-6 dan reaktan fase akut lainnya menyebabkan kerusakan endotel pasien COVID-19.
B. Stasis vena: Imobilisasi yang lama terutama pada pasien rawat inap dan kritis menyebabkan stasis pada pembuluh darah. Penggunaan PEEP yang tinggi pada pasien ARDS COVID-19 dapat meningkatkan tekanan intratoraks dan stasis aliran darah.
Kondisi hiperkoagulabilitas: Penelitian menunjukkan peningkatan faktor prothrombotik pada pasien COVID-19 seperti faktor VIII; von Willebrand factor, fibrinogen; mikropartikel prothrombotik; dan neutrophils extracellular traps (NETs).
Pemeriksaan tromboelastografi pasien COVID-19 juga terjadi
perubahan trace hypercoagulable dan hiperreaktivitas trombosit.
PETANDA KOAGULASI PADA COVID-19 SAAT ADMISI DAN MONITORING
Salah satu temuan laboratorium pada pasien rawat inap COVID-19 adalah peningkatan D-dimer. D-dimer ≥ 0.5 mg/L terjadi pada 46.5% pasien dengan pembagian 43% pada penyakit non-severe dan 60% pada penyakit severe.
Pada penelitian yang khusus menilai parameter koagulasi, peningkatan D-dimer merupakan salah satu prediktor mortalitas: D-dimer rerata 2.12 mg/L (rentang 0.77-5.27 mg/L) pada non-survivor, sementara pada survivor 0.61 ng/L (rentang 0.35-1.29 ng/L), sedangkan nilai normalnya <0.5 ng/L.4 Hu
melaporkan bahwa kadar D-dimer pasien yang membutuhkan ICU lebih tinggi
(median 2.4 [0.6-14.4 mg/L] dibandingkan pasien yang rawat inap non-ICU
(median 0.5 [0.3-0.8, p=0.0042]). Oleh karena alasan tersebut, pasien dengan peningkatan D-dimer saat admisi (peningkatan 2-3 kali nilai normal) harus menjadi salah satu indikasi perawatan di rumah sakit karena menandakan peningkatan aktivasi koagulasi.
Pemeriksaan koagulasi lain pada pasien kritis adalah prothrombin time (PT) dan trombosit. PT juga memanjang secara moderat padanonsurvivor pada saat admisi [15.5 detik pada no survivor].
Trombositopenia juga merupakan salah satu indikator mortalitas sepsis namun bukan karakteristik pasien COVID19. Pada peneliti an yang diterbitkan di Lancet, trombosit <100.000/uL hanya ditemukan pada 5% pasien dan tidak berbeda antara mereka yang memerlukan perawatan ICU atau tidak. Trombositopenia memang berhubungan peningkatan risiko COVID 5.1; 95% CI 1.8 admisi. 1514.6).
PENATALAKSANAAN KOAGULOPATI PADA COVID-19
Peningkatan kadar D-dimer berhubungan dengan mortalitas pasien COVID-19, sehingga perlu diberikan tromboprofilaksis dengan LMWH dosis profilaksis pada semua pasien COVID-19 yang rawat inap, jika tidak ada kontraindikasi (risiko perdarahan tinggi, perdarahan aktif, trombosit < 25.000/uL).
Pemakaian LMWH harus dengan pemantauan ketat pada gangguan fungsi ginjal yang berat.
PT dan aPTT yang abnormal bukan kontraindikasi mutlak terapi heparin. Keuntungan terapi tromboprofilaksis telah dibuktikan penelitian dr. Tang dkk. yang melibatkan 449 pasien COVID-19 berat dimana 99 diantaranya mendapatkan terapi profilaksis heparin (terutama LMWH). Prognosis mortalitas setelah 28 hari tampak lebih baik pada pasien dengan skor SIC ≥ 4 (40% vs. 64.2%, p=0.029) dan D-dimer > 3,0 mg/dL (32.8% vs. 52.4%, p=0.017).
Terapi LMWH memberikan manfaat tambahan dibandingkan antikoagulan lain, karena heparin memiliki efek antiinflamasi.18 Penelitian ini bisa menjadi dasar bahwa sepsis-induced coagulopathy yang ditetapkan dengan skor SIC ≥ 4 (Tabel 1)19 merupakan indikasi pemberian tromboprofilaksis, sepanjang tidak ada kontraindikasi.
SKOR TEV IMPROVE
Faktor risiko dan Nilai
Riwayat VTE --> 3
Trombofilia--> nilai 2
Paralisis tungkai bawah--> 2
Kanker aktif--> 2
Imobilisasi > 7 hari 1
Rawat di ICU/CCU--> 1
Umur > 60 tahun--> 1
Skor total 12, Interpretasi nilai : 0-1 resiko rendah, 2-3 resiko sedang, > 4 risiko tinggi. IC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar